Akad
nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun
dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut
dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun
dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila
keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan
tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang
yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam
permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1.
Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara
syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi
keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi
termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan
nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa
iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah
orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam
ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini
yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya
(menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang
telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
Dan firman-Nya:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun
penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan,
yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian pula murid beliau
Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah
bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa
pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan
bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah
penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu
Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang
yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan
isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul
Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash
Al-Fiqhi, 2/283-284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian
siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat
(menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas.
Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَe
“Tidak
boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai
pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai
izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka
nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih.
Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu
Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang
dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil
‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah,
Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu
‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam
riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada,
karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya
sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan
urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil
Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama
berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya.
Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam
pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari
kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita
terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki),
seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari
pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya
ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki
seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka
bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)e
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita
adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya
ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak
laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke
bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara
laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan
dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman
dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah.
Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya
adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang
paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah
sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas
bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam
bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Balighe
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Balighe
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian
fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah
yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan
dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan
harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak
terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini
merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan
merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun
Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai
wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani
terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1)
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok
yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya
susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila
wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai
wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara,
tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali
nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1)
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.”
(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no.
7556, 7557)e
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai
saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih
menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang
dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu
atau tuli.
Pasal 26
Saksi
harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan.
1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.
2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.
4
Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan
dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang
pernikahan, pasal 23.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Abu Ishaq, Judul : Rukun dan Syarat Akad Nikah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar